Kamis, 05 Desember 2013

Naik Dango

UPACARA NAIK DANGO
(DAYAK KANAYATN)
Upacara adat Naik Dango adalah sebuah upacara untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Nek Jubata (sang pencipta) atas hasil panen padi yang melimpah. Selain untuk bersyukur, masyarakat Dayak di Kalimantan Barat melakukan upacara Naik Dango ini juga untuk memohon kepada Sang Pencipta agar hasil panen tahun depan bisa lebih baik, serta masyarakat dihindarkan dari bencana dan malapetaka.
Tahap pelaksanaan upacara Naik Dango yaitu sebagai berikut :

  1. Sebelum hari pelaksanaan, terlebih dahulu dilakukan pelantunan mantra (nyangahatn) yang disebut Matik. Hal ini bertujuan untuk memberitahukan dan memohon restu pada Jubata. 
  2. Saat hari pelaksanaan Pada hari pelaksanaan dilakukan
  3. Kali nyangahathn :
  • pertama di Sami(ruang tamu), bertujuan untuk memanggil jiwa atau semangat padi yang belum datang agar datang kembali ke rumah adat. 
  • kedua di Baluh/Langko, bertujuan untuk mengumpulkan semangat padi di tempatnya yaitu di lumbung padi. 
  • ketiga di Pandarengan(tempayan), tujuannya yaitu berdoa untuk memberkati beras agar dapat bertahan dan tidak cepat habis.  

Inti dari upacara ini adalah Nyangahatn yaitu pelantunan doa atau mantra kepada Jubata, lalu mereka saling mengunjungi rumah tetangga dan kerabatnya dengan suguhan utamanya seperti: poe atau salikat (lemang atau pulut dari beras ketan yang dimasak di dalam bambu), tumpi (cucur), bontokng (nasi yang dibungkus dengan daun hutan seukuran kue), jenis makanan tradisional yang terbuat dari bahan hasil panen tahunan dan bahan makanan tambahan lainnya.


Makna Upacara Adat Naik Dango bagi masyarakat Suku Dayak Kanayatn antara lain , yaitu pertama: sebagai rasa ungkapan syukur atas karunia Jubata kepada manusia karena telah memberikan padi sebagai makanan manusia, kedua: sebagai permohonan doa restu kepada Jubata untuk menggunakan padi yang telah disimpan di dango padi, agar padi yang digunakan benar-benar menjadi berkat bagi manusia dan tidak cepat habis, ketiga: sebagai pertanda penutupan tahun berladang, dan keempat: sebagai sarana untuk bersilahturahmi untuk mempererat hubungan persaudaraan atau solidaritas.

Upacara adat syukuran sehabis panen ini dilaksanakan oleh masyarakat Dayak dengan nama berbeda-beda. Orang Dayak Hulu menyebutnya dengan Gawai, di Kabupaten Sambas dan Bengkayang disebut Maka‘ Dio, sedangkan orang Dayak Kayaan, di Kampung Mendalam, Kabupaten Putus Sibau menyebutnya dengan Dange.

0 komentar:

Posting Komentar