Sejak zaman kolonial, banyak pakar dalam bidang antropologi, linguistik, arkeologi
maupun sosiologi, terutama para penjelajah dari Eropa menjelajahi wilayah Pulau
Kalimantan dan Sabah/Sarawak. Pada masa itu Pulau Kalimantan dianggap sebagai
pulau yang sungguh unik dan eksotik mulai dari hutan belantara yang lebat,
kekayaan dan keindahan yang dimilkinya sampai pada keunikan yang terdapat pada
para penghuninya. Penelitian tentang penduduk asli Pulau Kalimantan memang
sudah gencar dilakukan sejak tahun 1800-an, banyak pakar merumuskan dan
berhipotesis tentang “Dayak”, siapakah mereka, dari mana asal usulnya, dan apa
bahasanya .
Namun demikian, hingga saat ini masih belum ada kesepakatan untuk mengartikan istilah Dayak, walaupun perdebatan di kalangan ilmuwan tentang Dayak sudah dimulai sejak tahun 1800-an. Pada mulanya, istilah Dayak tidak begitu umum dipakai untuk menamakan penduduk asli Pulau Borneo (Kalimantan), istilah ini hanya dipakai pada kawasan terbatas dan pada kelompok subsuku Dayak yang memang terdapat kosa kata Dayak dalam bahasanya. sebelum tenarnya istilah Dayak ini di kalangan orang-orang Dayak, pendatang luar dari Eropa menyebut penduduk asli Pulau Borneo ini dengan istilah Borneers dan ada juga yang menyebutnya Beyajos.
Istilah Dayak, pada mulanya memang hasil rekontruksi kolonial untuk menyebut seluruh penduduk asli Pulau Borneo untuk memudahkan proses administrasi mereka. Rujukan yang sering dipakai adalah orang-orang Bidayuh yang digelari Land Dayak. Berdasarkan pengertian Daya’ dalam banyak varian yang bearti ‘hulu’ dan ‘manusia’, para peneliti dari Eropa sekitar tahun 1800-an, kemudian mendefinisikan Dayak sebagai ‘manusia pedalaman’, ‘non-Muslim’, ‘primitif’, ‘tidak berperadaban’, dan citra negatif lainnya. Apalagi orang-orang Dayak pada masa itu, jika didatangi oleh orang luar akan semakin jauh berpindah kehulu sungai dan wilayah penggunungan karena kalah bersaing.
Sumber lain menyebutkan istilah Dayak berasal dari dayaka (dari bahasa kawi) yang berarti ‘suka memberi’. Pengertian ini mungkin didasari pada sifat orang Dayak pada zaman dulu yang suka memberi apa saja, seperti ayam, tanah, makanan, dan lain-lain kepada pendatang (Simon Takdir, 2002). Sementara itu ada yang menyebut Dayak berasal dari istilah daya yang berarti ‘kekuatan’.
Dewasa ini, arti istilah Dayak semakin diperluas, diperbaharui dan lebih positif artinya, sehingga tidak heran jika kemudian banyak orang Dayak yang bangga menjadi orang Dayak atau ada orang-orang Dayak yang dulunya keluar dari Dayak sekarang ini back to basic menjadi Dayak kembali. Hal ini juga dinyatakan oleh Sillander, (1995:85) dalam Collins (1999), “Bertambah banyak orang Dayak tidak menganggap kata Dayak sebagai sesuatu yang rendah dan sebagai nama yang diberikan orang luar. Sebaliknya, sering menggambarkan persatuan sejumlah orang yang berbagi di samping orientasi yang secara esensial sama terhadap hidup, minat ekonomi, dan politikdalam dunia yang berubah secara cepat ini”.
Memang sudah lama diketahui bahwa identitas bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis dan selalu berubah menurut dinamika masyarakat. Fakta lapangan membuktikan bahwa sekarang ini banyak orang-orang Dayak yang masuk Islam tetapi tetap mengaku sebagai Dayak buktinya ada perkumpulan Dayak Islam di Pontianak. Padahal fakta yang terjadi seratus lima puluh tahun yang lalu seperti yang ditulis oleh Enthoven (1903) mengatakan bahwa orang-orang Dayak yang masuk Islam secara besar-besaran langsung merubah identitas dari Dayak ke Melayu termasuk merubah bahasanya dan menjadi penutur tunggal bahasa Melayu (Collins dalam Yusriadi 2002). Namun, didalam buku Sejarah Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat (Pemda Prov. Kalbar, 1991:17) dikemukakan sedikit pendapat mengenai penduduk Kalimantan Barat yang menyatakan, “Di daerah pesisir pantai dan sepanjang aliran sungai didiami oleh suku Daya (Laut), Melayu, Jawa, Bugis, Madura, dan cina sedangkan didaerah pedalaman terdapat suku Dayak (asli). Mungkin yang dimaksudkan oleh penulis ini tentang suku Daya (Laut) adalah orang-orang Dayak yang telah memeluk agama Islam dan kemudian menjadi melayu, sehingga orang menyebut mereka sebagai Masok Melayu atau pun Senganan.
Sumber: Sujarni Aloy, Albertus dan Chatarina Pancer Istiyani (2008),
Mozaik Dayak Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat. Institut Dayakologi.
Namun demikian, hingga saat ini masih belum ada kesepakatan untuk mengartikan istilah Dayak, walaupun perdebatan di kalangan ilmuwan tentang Dayak sudah dimulai sejak tahun 1800-an. Pada mulanya, istilah Dayak tidak begitu umum dipakai untuk menamakan penduduk asli Pulau Borneo (Kalimantan), istilah ini hanya dipakai pada kawasan terbatas dan pada kelompok subsuku Dayak yang memang terdapat kosa kata Dayak dalam bahasanya. sebelum tenarnya istilah Dayak ini di kalangan orang-orang Dayak, pendatang luar dari Eropa menyebut penduduk asli Pulau Borneo ini dengan istilah Borneers dan ada juga yang menyebutnya Beyajos.
Istilah Dayak, pada mulanya memang hasil rekontruksi kolonial untuk menyebut seluruh penduduk asli Pulau Borneo untuk memudahkan proses administrasi mereka. Rujukan yang sering dipakai adalah orang-orang Bidayuh yang digelari Land Dayak. Berdasarkan pengertian Daya’ dalam banyak varian yang bearti ‘hulu’ dan ‘manusia’, para peneliti dari Eropa sekitar tahun 1800-an, kemudian mendefinisikan Dayak sebagai ‘manusia pedalaman’, ‘non-Muslim’, ‘primitif’, ‘tidak berperadaban’, dan citra negatif lainnya. Apalagi orang-orang Dayak pada masa itu, jika didatangi oleh orang luar akan semakin jauh berpindah kehulu sungai dan wilayah penggunungan karena kalah bersaing.
Sumber lain menyebutkan istilah Dayak berasal dari dayaka (dari bahasa kawi) yang berarti ‘suka memberi’. Pengertian ini mungkin didasari pada sifat orang Dayak pada zaman dulu yang suka memberi apa saja, seperti ayam, tanah, makanan, dan lain-lain kepada pendatang (Simon Takdir, 2002). Sementara itu ada yang menyebut Dayak berasal dari istilah daya yang berarti ‘kekuatan’.
Dewasa ini, arti istilah Dayak semakin diperluas, diperbaharui dan lebih positif artinya, sehingga tidak heran jika kemudian banyak orang Dayak yang bangga menjadi orang Dayak atau ada orang-orang Dayak yang dulunya keluar dari Dayak sekarang ini back to basic menjadi Dayak kembali. Hal ini juga dinyatakan oleh Sillander, (1995:85) dalam Collins (1999), “Bertambah banyak orang Dayak tidak menganggap kata Dayak sebagai sesuatu yang rendah dan sebagai nama yang diberikan orang luar. Sebaliknya, sering menggambarkan persatuan sejumlah orang yang berbagi di samping orientasi yang secara esensial sama terhadap hidup, minat ekonomi, dan politikdalam dunia yang berubah secara cepat ini”.
Memang sudah lama diketahui bahwa identitas bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis dan selalu berubah menurut dinamika masyarakat. Fakta lapangan membuktikan bahwa sekarang ini banyak orang-orang Dayak yang masuk Islam tetapi tetap mengaku sebagai Dayak buktinya ada perkumpulan Dayak Islam di Pontianak. Padahal fakta yang terjadi seratus lima puluh tahun yang lalu seperti yang ditulis oleh Enthoven (1903) mengatakan bahwa orang-orang Dayak yang masuk Islam secara besar-besaran langsung merubah identitas dari Dayak ke Melayu termasuk merubah bahasanya dan menjadi penutur tunggal bahasa Melayu (Collins dalam Yusriadi 2002). Namun, didalam buku Sejarah Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat (Pemda Prov. Kalbar, 1991:17) dikemukakan sedikit pendapat mengenai penduduk Kalimantan Barat yang menyatakan, “Di daerah pesisir pantai dan sepanjang aliran sungai didiami oleh suku Daya (Laut), Melayu, Jawa, Bugis, Madura, dan cina sedangkan didaerah pedalaman terdapat suku Dayak (asli). Mungkin yang dimaksudkan oleh penulis ini tentang suku Daya (Laut) adalah orang-orang Dayak yang telah memeluk agama Islam dan kemudian menjadi melayu, sehingga orang menyebut mereka sebagai Masok Melayu atau pun Senganan.
Sumber: Sujarni Aloy, Albertus dan Chatarina Pancer Istiyani (2008),
Mozaik Dayak Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat. Institut Dayakologi.
0 komentar:
Posting Komentar