Jumat, 06 Desember 2013

Cerita Rakyat "Gunukng Bawakng"

Di dalam kisah tradisi Bawakng ini diceritakan tentang kedatangan seorang pemuda tampan bernama Nyiur Gadikng yang berasal dari pulau Malaya. Kedatangannya ke Bukit Bawakng pada waktu itu dipicu oleh bunyi misterius yang mengusik ketenangannya. Dia kemudian berangkat ke Bukit Bawakng untuk mengetahui asal-usul bunyi tersebut. Ternyata, diketahui bahwa bunyi tersebut adalah bunyi gasing milk Samaniamas yang sedang mengadakan pertandingan pangkak dengan Salojatn Tonggal.
Untuk menyaksikan pertandingan tersebut, Samaniamas mempersilahkan Nyiur Gadikng untuk menyaksikannya dari atas pansigit pongngo (lantai dua pada rumah adat Dayak Bakati’). Karena terlalu asyik menyaksikan pertandingan dan menikmati suara gasing tersebut, Nyiur Gadikng menjadi mengantuk dan akhirnya tertidur. Secara kebetulan di lantai bawah tempat Nyiur Gadikng tertidur, seorang gadis dari Kampung Tambao yang cantik sedang menjemur padi sambil menyaksikan pertandinag main gasikng tersebut. Nama gadis tersebut adalah Ballo Andakng. Karena begitu lelap dalam tidurnya, pemuda tersebut tidak menyadari bahwa air liurnya meleleh dan metes. Tetesan air liurnya ini tepat mengenai dada gadis tersebut.
Beberapa bulan kemudian, gadis Tambao ini hamil tanpa diketahui siapa lelaki yang menyababkan kehamilannya. Kehamilan Tambao akibat air liur Nyiur Gadikng adalah salah satu keajaiban yang terjadi di Bukit Bawakng. Bukit Bawakng adalah tempat bersemayam para
Jubata atau Nyabata, yang menyerupai manusia. Nyiur Gadikng yang telah kembali ke Tana’ Taleno diberitauhu oleh ibunya agar memperistri Ballo Andakng. Dia juga diberitahu bahwa Ballo Andakng hamil akibat oleh air liur Nyiur Gadikng. Perkawinan antara Nyiur Gadikng dengan Ballo Andakng menghasilkan dua anak, yaitu Ramaga yang tertua dan Rammamutn yang bungsu.
Sesudah dewasa, Ramaga kemudian kawin dngan Santokng Tali anak Kamang Layo. Buah dari perkawinan mereka lahirlah tujuh orang anak. Dari tujuh orang anak ini, hanya yang bungsu saja yang lahir sebagai manusia. Enam yang lahir sebagai kamang. Para kamang ini bisa diminta bantuan jika berada dalam keadaan gawat, misalnya sewaktu perang.
Pada zaman dulu, keluarga Ramaga dengan Santokng Tali ini telah menempati daerah Gunukng Bawakng. Anak Ramaga yang bungsu ini, kemudian diberi nama Kombakng. Konon sewaktu terjadi air bah, hanya sedikit manusia manusia yang bisa selamat. Yang selamat pun karena mereka berada di daerah yang lebih tinggi. Keluarga Ramaga dan Santokng Tali beserta anaknya Kombakng ini kemudian berpindah ke wilayah yang lebih tinggi yaitu ke pegunungan Sinjakng (Sungkung
).
Keluarga Kombakng kemudian tinggal dan beranak pinak di wilayah ini. Daerah Sinjakng (Sungkung) pada waktu itu diperintah oleh Ndo’ Londong. Setelah Ndo’ Londong meninggal, keturunan Kombakng ini kemudian pindah agak ke bawah di daerah Tawakng (Tawang). Dari Tawakng, mereka turun lagi ke Tamung (Tamong). Dari Tamung, kelompok kecil ini kemudian turun lagi ke Ombo. Dari Ombo pindah lagi ke daerah Bara. Dari Bara pindah lagi ke daerah Daik. Dari Daik kemudia pindah lagi ke daerah Baatn
.
Pada waktu itu, wilayah Baatn diperintah oleh Boang Ma’ Ajor. Sejak menghuni wilayah Tambao Baatn, keturunan Kombakng ini dikenal dengan nama Anak Sanggo (Sanggau). Keturunan anak Sanggo ini kemudian terbagi menjadi dua yaitu anak Riok dan anak Sara. Anak Riok dan anak Sara ini kemudian berpencar. Anak Riok menyebar ke Tambao Panggoh (Paling Dalam), Sebalos, Param, Malo, Barubm, Sujah, dan Sani’. Sedangkan anak Sara menyebar ke Tambao Gonde, Semawing, Segiring, Lae’, Dawar, Nyoekng (Kota Sanggau Ledo sekarang), Barakak, dan Masetn. Wilayah adat atau Banoe Riok dan Sara ini dibatasi oleh Sunggai Setanggi yang dijadikan sebagai sarana transportasi dan sumber penghidupan oleh kedua kelompok keturunan Anak Sanggo
.
Menurut asal-usul secara lisan tersebut, diketahui bahwa orang-orang Bakati’ yang sekarang ini tinggal di Kecamatan Sanggau Ledo terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Bakati’ Riok dan Bakati’ Rara. Kedua kelompok ini berasal dari satu keturunan, sehingga tidak heran jika bahasa dan adat istiadat yang mereka milki masih tergolong satu sumber. Walaupun demikian, seiring dengan perkembangan zaman kedua kelompok ini kemudian diidentifikasikan menjadi dua kelompok yaitu Bakati’ Riok dan Bakati’ Sara. 

Siapakah Orang Dayak Itu?










Sejak zaman kolonial, banyak pakar dalam bidang antropologi, linguistik, arkeologi maupun sosiologi, terutama para penjelajah dari Eropa menjelajahi wilayah Pulau Kalimantan dan Sabah/Sarawak. Pada masa itu Pulau Kalimantan dianggap sebagai pulau yang sungguh unik dan eksotik mulai dari hutan belantara yang lebat, kekayaan dan keindahan yang dimilkinya sampai pada keunikan yang terdapat pada para penghuninya. Penelitian tentang penduduk asli Pulau Kalimantan memang sudah gencar dilakukan sejak tahun 1800-an, banyak pakar merumuskan dan berhipotesis tentang “Dayak”, siapakah mereka, dari mana asal usulnya, dan apa bahasanya .
Namun demikian, hingga saat ini masih belum ada kesepakatan untuk mengartikan istilah Dayak, walaupun perdebatan di kalangan ilmuwan tentang Dayak sudah dimulai sejak tahun 1800-an. Pada mulanya, istilah Dayak tidak begitu umum dipakai untuk menamakan penduduk asli Pulau Borneo (Kalimantan), istilah ini hanya dipakai pada kawasan terbatas dan pada kelompok subsuku Dayak yang memang terdapat kosa kata Dayak dalam bahasanya. sebelum tenarnya istilah Dayak ini di kalangan orang-orang Dayak, pendatang luar dari Eropa menyebut penduduk asli Pulau Borneo ini dengan istilah
Borneers dan ada juga yang menyebutnya Beyajos.
Istilah Dayak, pada mulanya memang hasil rekontruksi kolonial untuk menyebut seluruh penduduk asli Pulau Borneo untuk memudahkan proses administrasi mereka. Rujukan yang sering dipakai adalah orang-orang Bidayuh yang digelari Land Dayak. Berdasarkan pengertian Daya’ dalam banyak varian yang bearti ‘hulu’ dan ‘manusia’, para peneliti dari Eropa sekitar tahun 1800-an, kemudian mendefinisikan Dayak sebagai ‘manusia pedalaman’, ‘non-Muslim’, ‘primitif’, ‘tidak berperadaban’, dan citra negatif lainnya. Apalagi orang-orang Dayak pada masa itu, jika didatangi oleh orang luar akan semakin jauh berpindah kehulu sungai dan wilayah penggunungan karena kalah bersaing
.
Sumber lain menyebutkan istilah Dayak berasal dari dayaka (dari bahasa kawi) yang berarti ‘suka memberi’. Pengertian ini mungkin didasari pada sifat orang Dayak pada zaman dulu yang suka memberi apa saja, seperti ayam, tanah, makanan, dan lain-lain kepada pendatang (Simon Takdir, 2002). Sementara itu ada yang menyebut Dayak berasal dari istilah daya yang berarti ‘kekuatan
’.
Dewasa ini, arti istilah Dayak semakin diperluas, diperbaharui dan lebih positif artinya, sehingga tidak heran jika kemudian banyak orang Dayak yang bangga menjadi orang Dayak atau ada orang-orang Dayak yang dulunya keluar dari Dayak sekarang ini
back to basic menjadi Dayak kembali. Hal ini juga dinyatakan oleh Sillander, (1995:85) dalam Collins (1999), “Bertambah banyak orang Dayak tidak menganggap kata Dayak sebagai sesuatu yang rendah dan sebagai nama yang diberikan orang luar. Sebaliknya, sering menggambarkan persatuan sejumlah orang yang berbagi di samping orientasi yang secara esensial sama terhadap hidup, minat ekonomi, dan politikdalam dunia yang berubah secara cepat ini”.
Memang sudah lama diketahui bahwa identitas bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis dan selalu berubah menurut dinamika masyarakat. Fakta lapangan membuktikan bahwa sekarang ini banyak orang-orang Dayak yang masuk Islam
tetapi tetap mengaku sebagai Dayak buktinya ada perkumpulan Dayak Islam di Pontianak. Padahal fakta yang terjadi seratus lima puluh tahun yang lalu seperti yang ditulis oleh Enthoven (1903) mengatakan bahwa orang-orang Dayak yang masuk Islam secara besar-besaran langsung merubah identitas dari Dayak ke Melayu termasuk merubah bahasanya dan menjadi penutur tunggal bahasa Melayu (Collins dalam Yusriadi 2002). Namun, didalam buku Sejarah Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat (Pemda Prov. Kalbar, 1991:17) dikemukakan sedikit pendapat mengenai penduduk Kalimantan Barat yang menyatakan, “Di daerah pesisir pantai dan sepanjang aliran sungai didiami oleh suku Daya (Laut), Melayu, Jawa, Bugis, Madura, dan cina sedangkan didaerah pedalaman terdapat suku Dayak (asli). Mungkin yang dimaksudkan oleh penulis ini tentang suku Daya (Laut) adalah orang-orang Dayak yang telah memeluk agama Islam dan kemudian menjadi melayu, sehingga orang menyebut mereka sebagai Masok Melayu atau pun Senganan.    


Sumber: Sujarni Aloy, Albertus dan Chatarina Pancer Istiyani (2008),
Mozaik Dayak Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat. Institut Dayakologi.

Kamis, 05 Desember 2013

Mengenal Istilah Kanayatn

Kanayatn adalah istilah untuk menyebut subsuku dayak di Kabupaten Pontianak, Landak, Bengkayang, dan Sambas, yang menuturkan bahasa Banana’-Ahe, Badamea-Jare, Baampape dengan segala variannya juga bahasa Bakati’-Banyadu, dan Bakambai dengan segala variannya.



Pengertian Kanayatn dikalangan orang-orang Bakati’ yang hingga saat ini diketahui adalah sebagai berikut.
  1. Di wilayah adat Bakati’ Kanayatn Satango, Kanayatn berasal dari akar kata layat, yaitu jenis rotan untuk menjemur pakaian. Biasanya direntangkan di rumah panjang. Jenis rotan ini biasanya disebut juga ui jalayatn. Dari perkataan layat inilah kemudian lahir istilah Kanayatn sebagai akibat adanya perubahan bunyi bahasa dalam pengucapannya (informan: Pak Logek). Namun ada juga yang mengatakan Kanayatn berasal dari kata kenane karena ada Kampung Kinande di wilayah ini (informan: Pak Tunggu).
  2. Di Wilayah adat Bakati’ Sebiha’ diperoleh informasi bahwa pada zaman dulu Sungai Sambas yang mengalir di wilayah Ledo sekarang ini disebut Sungai Kanayatn. Dalam perkembangan selanjutnya, sungai ini kemudian disebut Sungai Sambas karena bermuara di Kota Sambas (informan: Pak Asin). Sedangkan nganae’dalam bahasa Bakati Riok artinya ‘ke hulu’. Konsep ini berhubungan dengan sungai.
 
Di kalangan orang-orang Dayak yang menuturkan bahasa Banana’-Ahe, Badamea-Jare dengan semua variannya, pengertian Kanayatn atau Kendayan adalah sebagai berikut.
  1. Kanayatn bearti berasal dari keturunan Jubata. Ini merupakan bahasa asal yang berasal dari Jubata maka lagunya terdiri dari jonggan, kondan, dan sejenisnya (informan: Pak Lolon).
  2. Bahasa Banana’ disebut bahasa Kanayatn karena berasal dari Jubata, sehingga semua perkataan atau bahasa untuk berdoa kepada Jubata (nyangahatn) menggunakan bahasa Banana’-Ahe dengan semua variannya (informan: dari daerah Banyadu-Balacatn).
  3. Kanayatn atau nganayatn artinya ‘membawa persembahan kepada Jubata karena semua pekerjaan telah selesai’. Dalam ritual tersebut terdapat sesajen untuk dipersembahkan kepada Jubata (Tuhan) dalam upacara adat dengan nyangahatn (informan: Pak Herkulanus Uten, wilayah Balangin).
  4. Kanayatn artinya ‘membawa persembahan ke subayatn untuk Jubata yang bersemayam di sana’ (informan tak di ketahui).
Jika kita melihat kedua versi pengertian Kanayatn diatas maka tampak bahwa dari orang-orang Bakati’ pengertian Kanayatn dihubungkan dengan fakta-fakta alam, seperti nama tempat, tumbuhan, dan sungai. Sedangkan pada orang-orang Banana’-Ahe, pengertian Kanayatn mengarah pada isu budaya, yaitu sistem religi dan tradisi lisan. Namun, semua doa-doa dalam bahasa upacara adat bagi penutur bahasa Banana’-Ahe dan Badamea-Jare, selalu dibamangan(didoakan dalam bahasa Banana’) ke bukit Bawakng. Padahal di sekitar kaki bukit Bawakng hanya ada orang-orang Dayak yang menuturkan bahasa Bakati’ bukan Banana’. Hal ini cukup menarik untuk dianalisis, mengingat perbedaan konsep tentang Kanayatn di kalangan kedua kelompok masyarakat Dayak yang menuturkan bahasa yang berbeda ini. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam tradisi lisan pada suku Dayak Bakati’ dan Banana’ menunjukan kesamaan walaupun latar ceritanya berbeda. 


Di tinjau dari bahasa yang dikembangkannya
(1) Baahe logat Karimawatn Sakayu (Dayak Mampawah), 
(2) Baahe logat Sangah (Dayak Bukit), 
(3) Bajare (Dayak Gado), 
(4) Banana’, Banyadu’(Dayak Banyuke), 
(5) Balangin, Bampape (Dayak Landak), 
(6) Badamea/Badameo (Dayak Salako) dan 
(7) Bakati (Dayak Rara dan Dayak Bakati;) (lihat Atok;2008;8)
Dalam analisisnya, Atok menjelaskan bahwa (1 dan 2) bisa berkomunikasi dengan baik karena 90% perbendaharaan bahasanya relative sama, walaupun ada perbedaan fonemiknya (bunyi bahasanya). (1 dan 3) bisa berkomunikasi dengan mencampur bahasa masing-masing tapi saling mengerti apa yang dimaksud. (1,2, dan 4) sebagian besar bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan bahasa Baahe kedua logat yang ada. (5 dan 6) bisa berkomunikasi karena masih cukup banyak perbendaharaan kata yang sama dan umumnya komunikasi dengan lancar dengan bahasa Badameo. Sedangkan (1,2,3,4,5,6, dan 7) bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan bahasa campuran Baahe – Badameo -Bajare.

Foto ini diambil saat festival bujakng dara.
 

Naik Dango

UPACARA NAIK DANGO
(DAYAK KANAYATN)
Upacara adat Naik Dango adalah sebuah upacara untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Nek Jubata (sang pencipta) atas hasil panen padi yang melimpah. Selain untuk bersyukur, masyarakat Dayak di Kalimantan Barat melakukan upacara Naik Dango ini juga untuk memohon kepada Sang Pencipta agar hasil panen tahun depan bisa lebih baik, serta masyarakat dihindarkan dari bencana dan malapetaka.
Tahap pelaksanaan upacara Naik Dango yaitu sebagai berikut :

  1. Sebelum hari pelaksanaan, terlebih dahulu dilakukan pelantunan mantra (nyangahatn) yang disebut Matik. Hal ini bertujuan untuk memberitahukan dan memohon restu pada Jubata. 
  2. Saat hari pelaksanaan Pada hari pelaksanaan dilakukan
  3. Kali nyangahathn :
  • pertama di Sami(ruang tamu), bertujuan untuk memanggil jiwa atau semangat padi yang belum datang agar datang kembali ke rumah adat. 
  • kedua di Baluh/Langko, bertujuan untuk mengumpulkan semangat padi di tempatnya yaitu di lumbung padi. 
  • ketiga di Pandarengan(tempayan), tujuannya yaitu berdoa untuk memberkati beras agar dapat bertahan dan tidak cepat habis.  

Inti dari upacara ini adalah Nyangahatn yaitu pelantunan doa atau mantra kepada Jubata, lalu mereka saling mengunjungi rumah tetangga dan kerabatnya dengan suguhan utamanya seperti: poe atau salikat (lemang atau pulut dari beras ketan yang dimasak di dalam bambu), tumpi (cucur), bontokng (nasi yang dibungkus dengan daun hutan seukuran kue), jenis makanan tradisional yang terbuat dari bahan hasil panen tahunan dan bahan makanan tambahan lainnya.


Makna Upacara Adat Naik Dango bagi masyarakat Suku Dayak Kanayatn antara lain , yaitu pertama: sebagai rasa ungkapan syukur atas karunia Jubata kepada manusia karena telah memberikan padi sebagai makanan manusia, kedua: sebagai permohonan doa restu kepada Jubata untuk menggunakan padi yang telah disimpan di dango padi, agar padi yang digunakan benar-benar menjadi berkat bagi manusia dan tidak cepat habis, ketiga: sebagai pertanda penutupan tahun berladang, dan keempat: sebagai sarana untuk bersilahturahmi untuk mempererat hubungan persaudaraan atau solidaritas.

Upacara adat syukuran sehabis panen ini dilaksanakan oleh masyarakat Dayak dengan nama berbeda-beda. Orang Dayak Hulu menyebutnya dengan Gawai, di Kabupaten Sambas dan Bengkayang disebut Maka‘ Dio, sedangkan orang Dayak Kayaan, di Kampung Mendalam, Kabupaten Putus Sibau menyebutnya dengan Dange.